Selasa, 12 Januari 2010

Syarat Batin dari Amalan Hati.

# Syarat Batin dari Amalan Hati.

Untuk kali ini kami langsung pada bahasan ini, karena kami yakin untuk amalan lahir atau tatacara shalat temen-temen sudah faham.

Salah satu syarat batin dari amalan hati adalah khusyu. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “….dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha : 14).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Berapa banyak orang shalat yang bagian dari shalatnya hanyalah kelelahan dan keletihan.” (HR Darimi).

Hakikat shalat tidak lain adalah mengingat, membaca, bermunajat dan berdialog. Dan itu tidak mungkin terjadi, kecuali dengan kehadiran hati dan dengan sesuatu yang dapat mengantarkan mushalli (orang yang shalat) kepada pemahaman, pengagungan, penghormatan, harapan dan rasa malu. Secara global, semakin seseorang mengenal Allah, semakin bertambah ketakutan dan kehadiran hatinya.

Apabila kamu mendengar seruan adzan, kamu harus menghadirkan kedahsyatan seruan pada hari Kiamat di dalam hatimu. Bergegaslah dengan lahir dan batinmu untuk memenuhi seruan adzan tersebut. Sungguh, orang-orang yang bergegas kepada seruan itulah yang akan dipanggil dengan kelembutan pada hari Kiamat. Apabila kamu mendapati hatimu dipenuhi dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan kesiapan untuk segera menjawab, maka dalam seruan itu kamu seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Istirahatkanlah kami dengannya, wahai Bilal.” (HR Thabrani, Ahmad dan Haitsami).

“Hal itu karena kedamaian hati beliau ada di dalam shalat.” (HR Nasa’I, Ahmad, Hakim, dan Thabrani).

Kesucian yang sebenarnya adalah kesucian hati dari segala sesuatu selain Allah Subhanahu wata’ala. Dengan itu, shalat seseorang akan menjadi sempurna.

Apabila kamu bisa menutupi aurat zahirmu dengan pakaian, siapakah yang bisa menutupi aurat batinmu dari Allah? Karena itu, beradablah di hadapan Allah dan ketahuilah bahwa Dia mengetahui isi hatimu. Rendahkanlah dirimu secara lahir dan batin. Bayangkanlah seandainya kamu berdiri di hadapan seorang raja, bagaimana sikapmu? Allah Subhanahu wata’ala tidak dapat dibandingkan dengan para raja karena semua makhluk adalah hamba-hamba-Nya.

Apabila kamu melakukan itu, kamu tidak akan berdusta di dalam ucapanmu,
“Aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan berpegang teguh kepada agama dan dengan berserah diri, dan aku tidaklah termasuk orang-orang musyrik.”

Dan dalam ucapanmu,

“sungguh, shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah.”

Perhatikanlah bahwa semua itu bukan kedustaan yang menjadi penyebab kebinasaanmu.

Kamu harus mengingat kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wata’ala dalam rukuk dan sujudmu. Dan ajarkanlah itu kepada anak-anakmu. Allah Subhanahu wata’ala telah memberimu kesempatan untuk bermunajat kepada-Nya dengan rahmat-Nya. Karena itu, setidaknya kamu harus beradab dan menghadirkan hati di hadapan-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Sungguh Allah Subhanahu wata’ala menghadap kepada orang yang melaksanakan shalat selama dia belum berpaling.” (HR Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud dan Darimi).

Oleh karena itu, peliharalah lahir dan batinmu dari keberpalingan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh, seorang hamba benar-benar melakukan shalat dan tidak ditulis baginya separuh, sepertiga, seperempat, seperlima, seperenam, atau sepersepuluhnya. Sungguh, hal yang ditulis bagi seseorang dari shalatnya hanyalah apa yang dipahaminya dari shalat itu.” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Seorang sufi berkata, “Sungguh, seorang hamba benar-benar melakukan sujud dan menurutnya dia telah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala melalui sujud, namun seandainya dosa-dosanya dalam sujudnya dibagikan kepada penduduk sebuah kota, niscaya mereka akan binasa.” Dikatakan, “Bagaimana itu terjadi?” Dia berkata, “Dia bersujud di hadapan Allah, sedangkan hatinya mendengarkan hawa nafsu dan memperhatikan kebatilan yang telah menguasainya.”

Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.

^^BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI^^

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sumber: Mukhtashar Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar