Selasa, 12 Januari 2010

Kepribadian Manusia

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Temen-temen, masih melanjutkan bahasan tentang “Ruh Manusia Bergantung Pada Sembahannya”, dan ini adalah untuk bagian ketiganya atau terakhir.

Kepribadian Manusia
Kini kita akan membahas sifat sab’iyyah (binatang buas), bahimiyyah (binatang rakus yang bersumber dari syahwat), syaithaniyyah (syetan) dan rabbaniyyah (Rabb) yang menjadi atribut-atribut hati. Hati manusia menggabungkan empat sifat tersebut sekaligus. Kita adalah makhluk yang memiliki empat kepribadian sekaligus.

Menurut Al-Ghazali, empat sifat yang digabungkan sekaligus itu menjadi ciri hati. Al-Ghazali menggambarkan bahwa seolah-olah dalam diri kita ini ada anjing (sab’ atau binatang buas), babi (bahimah atau binatang rakus pemelihara syahwat), syetan dan Al-Hakim (yang Mahabijak).

Empat Kepribadian Manusia
1. Ghadhab (Marah)
Marah (ghadhab) adalah sumber energy. Orang yang tidak memiliki jiwa sab’iyyah tidak akan bisa marah. Meskipun disiksa, ia akan pasrah saja. Orang seperti itu biasanya penakut dan pengecut. Kadang-kadang kita memang membutuhkan jiwa sab’iyyah ini. Sebab, itulah yang mendorong kita untuk bertindak dan bersaing. Bila tidak ada dorongan ini, kita tidak akan maju.
2. Syahwat (potensi bahimiyyah)
Syahwat adalah keinginan yang macam-macam. Misalnya, keinginan untuk memiliki rumah mewah, baju yang indah, makanan enak, dan tidur nyenyak. Kita juga perlu memiliki syahwat. Bila tidak, kita tidak akan mempunyai kemauan (statis). Yang mendorong manusia hidup adalah juga jiwa rakus yang ada dalam dirinya.

3-4. Syaithaniyyah dan Rabbaniyyah

Keduanya merupakan kekuatan di dalam hati yang mengeksploitasi dan mengendalikan dua kekuatan sebelumnya. Sebenarnya dalam diri kita ini terjadi pertarungan antara dua penguasa. Jika syetan menguasai potensi sab’iyyah dan bahimiyyah seseorang, maka orang itu akan menjadi sangat merusak dan rakus. Ia akan makan apa saja; tidak hanya makan nasi, tapi juga “makan” tanah orang. Namun jika kedua potensi itu dikendalikan oleh akal (rabbaniyyah), keduanya hanya akan bergerak kea rah yang bermanfaat bagi dirinya dan seluruh manusia. Ia akan bersemangat mengumpulkan kekayaan untuk di bagikan kepada orang di sekitarnya.

Menurut Al-Ghazali, kita sering mengejek orang yang menyembah berhala. Padahal siapa tahu sebenarnya kita sedang menyembah anjing atau babi. Bila anjing yang kita sembah, kita akan menjadi pendengki dan pendendam. Jika babi yang kita sembah, kita menjadi orang yang pintar menipu, berkhianat dan pintar mencari alasan untuk menutup-nutupi kesalahan, mencari pembenaran bagi dosa kita.

Menurut orang-orang shalih, apa atau siapa yang kita sembah, itulah yang membentuk ruh kita. Ruh kita juga memiliki bentuk seperti tubuh kita. Bentuk tubuh kita bisa macam-macam. Bisa jelek atau cantik. Meskipun demikian, bentuk tubuh kita tetap saja bentuk tubuh manusia. Namun, dalam dunia ruh, ruh itu tidak selalu manusia. Bila kita menyembah anjing, ruh kita adalah anjing. Jika kita menyembah hawa nafsu (mengejar kepuasan sensual dan seksual), bentuk ruh kita adalah babi. Kalau kita suka memperdayakan atau menipu orang, bentuk ruh kita seperti syetan. Tetapi bila kita menjadi orang bijaksana yang bisa mengendalikan hawa nafsu kita dalam bimbingan syariat, maka kita akan menjadi insan kamil (manusia sempurna)

Dengan demikian, ruh kita bisa menjadi ruh malaikat atau ruh iblis. Iblis juga semula adalah malaikat. Namun, begitu ia melanggar perintah Allah, karena takabur dan dengkinya, ia jatuh dari derajat malaikat menjadi syetan. Menurut Imam Ali, Iblis itu pernah menyembah Allah ribuan tahun lamanya. Begitu dekatnya dia dengan Allah, sampai Allah mengajaknya berkumpul saat Dia menciptakan manusia.

Al-Qur’an menggambarkan betapa hebat ruh itu. Perubahan ruh sangat luar biasa; bisa serendah-rendahnya (asfala safilin) dan bisa juga menjadi seperti Rabb, ketika ia menyerap seluruh asma-Nya. [ ]

Wallahu a’lam,
Semoga bermanfaat.

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Sumber: Meraih Cinta Ilahi, Jalaluddin Rakhmat.

1 komentar: