Selasa, 12 Januari 2010

MENINGGALKAN HAWA NAFSU MENUJU ILLAHI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Apa kabar temen-temen hari ini? Semoga kita semua tetap diberi kekuatan untuk bisa mengendalikan hawa nafsu kita, amin.

Untuk kesempatan kali ini ada materi baru, yang mana kita akan belajar banyak tentang kehidupan para sufi. Tentunya tidak bisa sekaligus, namun sedikit demi sedikit tetapi rutin, insya Allah lebih berkah.

MENINGGALKAN HAWA NAFSU MENUJU ILLAHI

Seperti biasa, kisah-kisah sufi tidak bisa dicerna begitu saja. Kita harus merenung agak dalam. Dalam perjalanan seorang sufi dalam rangka mendekati Allah Subhanahu wata’ala , tidak ada penghalang yang paling besar menutupi jalan menuju illahi, selain hawa nafsu.

Hawa nafsu artinya keinginan-keinginan diri, nafsu diterjemahkan sebagai egoisme; kecenderungan kita untuk mencapai keinginan-keinginan diri. Keinginan untuk mencapai kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, keinginan untuk makan dan minum, bersenang-senang, diperhatikan, diistemawakan, dianggap paling penting, yang biasanya lazim kita sebut sebagai kepongahan atau arogansi itu, semua termasuk hawa nafsu. Rabb tidak bisa didekati kalau hawa kita masih berdiri sebagai gunung yang tegak. Seorang sufi hanya bisa mendekati Allah Subhanahu wata’ala dengan menaklukkan hawa nafsu atau egoismenya itu.

Para sufi menjelaskan apa yang disebut hawa nafsu dengan menerangkan struktur kepribadian kita. Dalam setiap diri kita, kita selalu menemukan beberapa kekuatan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Psikologi barat menyebutnya sebagai drive atau motive. Para sufi menyebutnya sebagai kekuatan-kekuatan hawa nafsu.

Paling tidak, ada tiga kekuatan hawa nafsu dalam diri kita.
1. Quwwatun bahimiyyah, kekuatan kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan sensual.
2. Quwwatun sab’iyyah, kekuatan binatang buas. Jauh dalam diri kita, terdapat kekuatan binatang buas. Kita senang menyerang orang lain. Kita ingin membenci, menyerang, menghancurkan, atau mendengki orang lain.
3. Quwwatun syaithaniyyah. Inilah kekuatan yang mendorong kita untuk membenarkan segala kejahatan yang kita lakukan. Kalau kita mengambil hak orang lain, syetan membisikkan dalam hati kita agar kita tidak usah merasa bersalah karena kita mengambil hak orang lain untuk dipergunakan membantu saudara-saudara kita.
Ketiga kekuatan ini berasal dari hawa nafsu.


Namun, Allah juga menyimpan dalam diri kita, sebgai satu bagian penting dari kepribadian kita, satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya Ilahi. Inilah yang dinamakan dengan Quwwatun rabbaniyyah, kekuatan Rabb. Kekuatan ini terletak pada akal sehat kita. Bila keinginan untuk mengejar hawa nafsu itu yang menguasai kita, maka, secara ruhaniah, kita sebenarnya adalah binatang. Walaupun secara jasmaniah, kita menampakkan penampilan seperti manusia.

Apabila kita senang memelihara dendam, perasaan iri hati, kejengkelan dan kemarahan dalam hati, kita adalah serigala-serigala buas. Sebaliknya, jika akal sehat yang menundukkan ketiga-tiganya, kita akan dibimbing akal untuk menempuh perjalanan ruhani menempuh Allah Subhanahu wata’ala. Tugas akal adalah mengendalikan seluruh hawa nafsu itu. Dengan cara itulah kita dapat mendekati Allah Subhanahu wata’ala.

Tulisan ini kami akhiri dengan sebuah cerita dari Jalaluddin Rumi;
Dulu ada seorang yang amat kehausan. Iya berada di sebuah puncak benteng yang amat tinggi. Di bawah benteng itu mengalir sebuah sungai yang amat jernih. Ia sangat ingin memperoleh air itu, tetapi benteng itu menghalanginya sampai ke tempat air mengalir. Kemudian dengan tenaga yang tersisa, ia menjatuhkan batu bata dari benteng itu satu per satu. Batu yang jatuh ke sungai menimbulkan suara gemericik air. Entah bagaimana, orang yang kehausan itu mendengar suara air gemericik itu sebagai suara yang amat indah. Lebih dari kabar gembira yang disampaikan kepada seorang napi yang dibebaskan. Lebih indah dari kabar yang disampaikan kepada orang-orang yang menunggu berita sekian lama. Makin indah dia mendengar suara air gemericik itu, semakin sering dia menjatuhkan batu bata. Akhirnya, air sungai yang berada di bawah itu berkata, “hai manusia, mengapa Engakau jatuhkan batu bata itu?” Orang haus itu menjawab, “ aku menjatuhkan batu bata itu karena dua kepentingan. Pertama, karena aku menikmati suara gemericik air yang ditimpa batu bata, kedua, karena dengan meruntuhkan batu bata itu, makin lama aku makin dekat dengan pusat air itu.”

Dengan cerita itu, sebetulnya Rumi ingin mengajarkan kepada kita bahwa air mencerminkan kesucian Allah Subhanahu wata’ala, dan orang hanya bisa merindukan Allah dengan merobohkan batu bata hawa nafsunya satu demi satu. Makin sering dia merobohkan hawa nafsu, makin tampak keindahan Allah, makin besar kerinduannya kepada-Nya dan makin dekat dia di sisi-Nya.

Marilah kita berusaha menaklukkan hawa nafsu kita dan meletakkan akal sehat di atas ketiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu itu. Hanya dengan itu, kita akan berlayar menuju Allah Subhanahu wata’ala, menghampiri-Nya, dan melepaskan kerinduan kita kepada-Nya.()

Semoga bermanfaat.

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Sumber: MERAIH CINTA ILAHI
Belajar Menjadi Kekasih Allah: Jalaluddin Rakhmat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar