Rabu, 13 Januari 2010

ISLAM RASIONAL ala UMAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa kabar temen-temen? Alhamdulillah kami masih bisa menyapa Anda semua malam ini. Semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai amal baik kita dan mengampuni atas dosa yang kita lakukan, amin.

Shalawat serta salam marilah kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan sahabatnya.

ISLAM RASIONAL ala UMAR

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, di antara sahabatnya yang paling penyayang adalah Abu Bakar, temannya yang paling pemalu adalah Utsman dan rekannya yang paling keras agamanya adalah Umar.

Umar Ibnul Khattab masuk islam pada tahun keenam kenabian. Keimanan orang yang digelari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai al Faruq (pemisah antara kebenaran dan kebatilan) ini sangat tulus, tetapi tidak membuta. Tak berlebihan jika sejarah telah mencatat beberapa sikap Umar “mempertanyakan langkah yang diayunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam” ketika dirasa mengganggu logika pikiran dan substansi kearifannya.

Dalam perjanjian Hudaibiyah (Muslimin vs kafir Quraisy) misalnya, Umar mempertanyakannya, karena secara logika merugikan kaum muslim. Setelah diyakinkan bahwa langkah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai refleksi dari “samawi” (dibimbing wahyu), Umar lantas mengimani.

Kala lain, Umar sempat mempertanyakan sikap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyolati Abdullah bin Ubay, seorang munafik, mengaku islam, tetapi nyata-nyatanya merugikan islam. Kala itu Nabi tetap menyolati karena berpijak pada argumentasi kearifan budi bahwa Abdullah bin Ubay semasa hidup secara formal mengaku islam. Tak lama setelah itu, akhirnya turun wahyu yang ternyata membenarkan pendapat Umar. Sejak saat itu dan detik itu, Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyolati kaum munafik yang masuk islam dengan kepura-puraan, terlihat dari tinggkah lakunya yang memusuhi islam.

Dari situ terlihat bahwa sikap keras Umar dalam beragama, terkadang mampu “mengintip” hal-hal gaib dan ada kalanya hampir mendahului wahyu. Tak berlebihan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut kecerdasan Umar dengan mengatakan, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan Umar dan hatinya.” Subhanallah.

Namun, perlu dicatat bahwa keimanan Umar tetap tulus dan murni, sehingga ketika telah mendapat penjelasan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang suatu perkara, ia pasti akan mengimaninya secara kukuh, dan tiada satupun dapat mengubahnya. Kadang kala ia menyanggah hal-hal yang perlu disanggah, dan menerima bulat-bulat parkara-perkara yang ada kalanya tidak dipahami hikmahnya. Itulah Umar Ibnul Khattab, orang yang oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai “yang paling keras agamanya”

Suatu hari, ketika Umar telah menjadi khalifah kedua, menggantikan Abu Bakar Asshidiq, ia memimpin rombongan haji. Ketika ia mau mencium Hajar Aswad ia berkata, seolah bicara kepada batu hitam itu: “Sesungguhnya engkau adalah batu, yang tak bisa memberikan manfaat atau merugikan. Demi Allah, jika sekiranya aku tak melihat Rasulullah menciummu, maka aku pun tidak akan sudi menciummu.”

HIKMAH

Dari catatan historis tadi kita telah melihat ungkapan seorang islam yang keras agamanya, yang berusaha mati-matian menjaga tauhidnya kepada Allah, berusaha optimal agar tak dicemari syirik kepada apa pun termasuk kepada Hajar Aswad atau “perlambang” keislaman lainnya. Itulah keimanan Umar yang rasional.

Dari situ terdapat pelajaran yang dapat dipetik hikmahnya: Prinsip tauhid kepada Allah, dalam pengertian uluhiyah (satu-satunya sembahan), rububiyah (satu-satunya dzat Pengatur dan pemelihara), mulkiyah (satu-satunya Penguasa dari seluruh penguasa) hendaknya dijaga kemurniannya secara sadar dan kritis. Janganlah kita terjebak pada pensakralan sebuah perlambang dalam islam (seperti Ka’bah, Hajar Aswad, Kitab Al-Qur’an dalam wujud buku, atau pun hal-hal lainnya) seolah-olah semua formalisme, symbol, perlambang itu seolah-olah menjadi Tuhan itu sendiri, sebagai refleksi dari eksistensi Rabb. Sikap seperti itu justru dapat menjerumuskan kepada kesyirikan

Sehubungan dengan hal ini, pertanyaan mendasar akhirnya muncul, kenapa para jamaah haji selama ini terkadang sikut kanan kiri “hanya” untuk dapat mewujudkan ambisi, mencium Hajar Aswad? Kenapa jamaah haji dewasa ini terkadang, tampak menangis terharu biru, menggelayut pada kiswah Ka’bah, meratap seolah Ka’bah menjadi objek dan tujuan utama, bukan pada keridhaan Rabb-nya? Bahkan lebih tragis, kenapa banyak masyarakat muslim yang datang ke makam keramat, senjata keramat, atau apa pun yang keramat, memohon keberkahan dan rahmat, yang dibanding Hajar Aswad tentu lebih rendah derajatnya? Itulah berbagai pertanyaan yang mesti direnungkan.

Wallahu a’lam,
Semoga bermanfaat.

^^BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI^^


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Sumber: Kisah dan Hikmah, Dhurorudin Mashad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar