Selasa, 12 Januari 2010

RUH MANUSIA BERGANTUNG SEMBAHANNYA | Part# 2

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Temen-temen, masih melanjutkan bahasan posting sebelumnya tentang “Ruh Manusia Bergantung Sembahannya”.

Kita akan membahas ruh, qalb, nafs, dan ‘aql.

Menurut Imam Al-Ghazali, keempat istilah di atas mempunyai dua makna. Kata qalb, misalnya, bermakna hati dalam bentuk fisik dan hati dalam bentuk nonfisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting; karena melalui hatilah darah dialirkan ke seluruh tubuh. Darah itu pula yang membawa kehidupan. Oleh sebab itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya dalam diri manusia itu terdapat segumpal daging (mudghah). Jika gumpalan daging itu bagus, baguslah seluruh anggota tubuhnya; dan jika gumpalan daging itu rusak, rusaklah seluruh bagian tubuh. Ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (qalb).”

Berdasarkan hadits ini, sebenarnya tidaklah tepat kalau qalb diartikan dengan hati. Qalb lebih tepat diartikan sebagai jantung.

Lalu muncul hati yang bisa sedih, menangis, dan tersinggung. Hati seperti inilah yang menentukan seluruh kepribadian kita. Kalau hati kita bersih, maka bersihlah seluruh akhlak kita. Ini bukanlah hati dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian ruhani. Oleh sebab itu menurut Al-Ghazali, ada makna yang membuat hati yang kedua, yaitu lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah atau sesuatu yang lembut yang berasal dari Rabb. Lathifah itulah kita mengetahui atau meresakan sesuatu. Hati adalah bagian dari ruhani yang kerjanya memahami sesuatu. Itulah yang disebut qalb.

Kata Imam Al-Ghazali, hati bisa membawa kita pada ilmu mukasyafah; yaitu ilmu untuk menyingkap hal-hal gaib. Berkenaan dengan ini, hati itu erat kaitannya dengan ruh. Ruh juga mempunyai dua arti. Pertama, ruh yang berkaitan dengan tubuh. Ruh yang ini erat hubungannya dengan jantung. Ia beredar bersama peredaran darah. Kalau darah tidak beredar lagi dan detak jantung kita sudah berhenti, ruh itu pun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmaniah yang terikat dengan jasad. Kedua, ruh yang – ajaibnya – definisinya sama dengan hati, yaitu ruh sebagai lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah. Walhasil, secara abstrak atau secara maknawi, ruh sama dengan hati. Ruhlah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat menyebutnya mind. Kita menyebutnya jiwa.

Berikutnya adalah ‘aql (akal). Ia juga mempunyai dua makna. Pertama, akal sebagai ilmu tentang sesuatu. Orang yang berakal berarti orang yang mempunyai ilmu tentang sesuatu. Dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. Kedua, akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. Itu berarti sama artinya dengan hati, yaitu lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah mudrikah ‘alimah ‘arifah. Jadi, bagian dari diri kita untuk mengetahui sesuatu itu berarti akal.

Walhasil, ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati dan akal. Ketiganya merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat sedih tanpa harus mengalami gangguan fisik sedikit pun. Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yang luar biasa.

Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan organ tubuh kita, tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang-orang mengetahui bahwa seseorang tidak memiliki ruh, ia tidak akan merasakan sakit apa pun walaupun tubuhnya di kerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasa sakit sebenarnya bukan tubuh kita, melainkan ruh kita, atau qalb, atau akal- dalam definisi lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah.

Berikutnya adalah nafs. Di kalangan ulama, nafs bermakna dua. Pertama, nafs dalam arti jelek, yakni al-hawa, yang dalam bahasa Indonesia sering digabung menjadi satu, yakni hawa nafsu. Tugas kita adalah membersihkan hati dari nafsu. Hati yang bersih dari nafsu, disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah qalbun salim.

Al-Hawa adalah makanan syetan. Diceritakan bahwa suatu ketika syetan datang kepada Ibn Al-Hajjaj dan berkata, “Dulu aku masuk ke dalam dirimu dalam keadaan gemuk. Sekarang aku keluar dari dirimu dalam keadaan kurus kering.” Maksudnya, ketika masuk, ia tidak menemukan makanan dalam diri orang shalih-karena orang shalih itu menghancurkan hawa nafsunya-sehingga syetan keluar dalam keadaan kurus.

Kedua, nafs yang berarti manusia secara keseluruhan. Hakikat diri kita adalah nafs kita, ego atau diri kita. Dalam Al-qur’an pengertian nafs bermacam-macam. Paling tidak ada tiga:
1. Nafs ammarah
2. Nafs lawwamah, dan
3. Nafs muthma’innah.

Ammarah berasal dari kata amara. Dalam surat Yusuf disebutkan, “Innan- nafs la’ammaratun bis-su’; Sesungguhnya nafsu itu menyuruh berbuat jelek.” (QS Yusuf:53). Ammarah artinya “yang memerintah, yang mendesakkan, atau yang mengajak”. Nafsu jenis ini merupakan nafsu dalam tingkatan yang paling rendah, yakni nafsu yang masih suka menyuruh orang mengikuti hawa nafsunya, yang tunduk kepada ghadhab dan syahwat, pada sifat-sifat kebinatangannya.

Kemudian nafsu yang lebih tinggi lagi adalah nafsu lawwamah. Jika seseorang mengetahui dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya, lalu ia menyesali dan mengadili dosa-dosanya, maka ia di sebut nafsu lawwamah. Allah bersumpah dengan dua macam pengadilan: “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan nafsu lawwamah.” (QS Al-Qiyamah: 1-2).

Menurut Muthahari, ada tiga macam pengadilan ketika seseorang bersalah atau mengikuti hawa nafsunya. Tiga macam itu berurutan dari yang paling tidak adil hingga yang paling adil. Pengadilan yang paling tidak adil adalah pengadilan di dunia. Lalu ada pengadilan yang agak adil, yakni pengadilan hati nurani, yang di sebut nafsu lawwamah. Diri kita menjadi hakim yang mengadili diri kita, yang membuat kita gelisah dan merasa bersalah. Di situ kita tidak bisa lagi berbohong. Tetapi nafsu lawwamah ini hanya bisa mengecam saja. Ia tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersangkutan. Karena itu ada pengadilan yang paling adil, yaitu pengadilan pada hari kiamat. Di situ orang tidak bisa lagi berdusta dan menghindar. Di situ juga akan ditetapkan hukuman yang seadil-adilnya.

Yang terakhir, yakni diri atau nafs yang paling tinggi, yakni diri yang sudah tunduk pada kehendak Rabb dengan meninggalkan hawa nafsunya. Diri itulah yang kelak, ketika kembali kepada Allah, akan disapa oleh Allah dengan penuh kemesraan: Ya ayyuhan-nafsul-muthma’innah irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatam-mardhiyyah” (QS Al-Fajr: 27-28). Nafsu yang muthma’innah adalah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.

Wallahu a’lam,
Semoga bermanfaat.

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Masih dari sumber yang sama: Meraih Cinta Ilahi, Jalaluddin Rakhmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar