Rabu, 13 Januari 2010

Model Keislaman Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa kabar temen-temen..? Semog kita semua bisa menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekitar kita, amin.

Kesempatan kali ini kami mencoba berbagi mengenai kisah “ Model Keislaman Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu”

Sebelum Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam mendapat wahyu kenabian, hiduplah beberapa tokoh “spiritual”. Tiga diantaranya adalah Qass bin Sa’idah al Iyadi, Zain bin Amru bin Nufail, dan Waraqah bin Nufail. Kendati waktu itu kultur jahiliyah arab sangat dominan, namun dengan modal “warisan sisa-sisa agama Ibrahim Alaihissalam” yang hanif, ketiganya mampu menjaga rasionalitas yang lurus, melestarikan jiwa yang bersih, hati luhur, dan nurani yang penuh hikmah. Dengan modal yang serba minim itu, mereka mampu menghindari penyembahan berhala, batu bikinan manusia. Dengan warisan hikmah yang pas-pasan itu mereka masih sempat tak ikut-ikutan membunuh bayi perempuan, yang kala itu dianggap perlambang kesialan.

Kepada mereka bertigalah seorang anak manusia bernama Atiq bersohib akrab. Dapat dipahami pula jika ruhaniah Atiq menjadi ikut terpelihara, akal pikiran Atiq senantiasa terasah, selalu mampu menegasi kultur jahiliyah kaumnya. Setiap kali dia melihat tetangganya menyembah berhala, nurani Atiq langsung bertanya, “Mungkinkah ini suatu kebenaran? Orang-orang yang dapat melihat, mendengar, dan berpikir justru bersujud dan memohon kepada benda ciptaan manusia sendiri, meratap kepada benda yang sama sekali tak dapat mendengar, melihat, berbicara, apatah lagi berfikir.”

Ditengah kegundahan itu pula, Atiq acap kali ngeloyor meninggalkan penghamba patung sambil bergumam sedih, lirih, “Apakah Ilah yang tunggal, ataukah seribu Ilah yang disembah kaum jahiliah Arab yang harus diikuti jika urusan-urusannya terbagi-bagi?”

Dialah Atiq seorang Penghamba Ilahi, tetapi bukan sembarang Ilahi. Dialah Atiq seorang penyembah Ilahi, tapi bukan karena keturunan, melainkan berdasarkan keyakinan yang rasional. Dialah Atiq yang pada akhirnya , menjadi salah satu orang pertama yang membaiat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemeluk islam, agama tauhid, Din (tatanan) Ilahi yang mengajarkan adanya satu Ilah. Satu dalam Dzat-Nya, satu dalam sifat-Nya, persis seperti yang selama ini telah dia renungkan. Siapakah dia? Dialah Abu Bakar as Shidiq.

HIKMAH

Terbentuknya sebuah karakter, pemikiran, bahkan keyakinan dan tingkah laku seseorang hakekatnya sangat dipengaruhi oleh mileu (lingkungan)nya. Kepada siapa Anda suka berteman, itulah refleksi dari siapa diri Anda yang sebenarnya. Jika Anda memilih berakrab dengan cerdik pandai, akan menjadi cendekiawan. Jika Anda bershohib dengan pencoleng, Anda menjadi seperti mereka pula. Tak berlebihan jika sesepuh jawa senantiasa memberi wejangan, saran atau nasehat kepada para pemudanya agar senantiasa wong kang sholeh kumpulono (bersahabatlah dengan kaum yang shalih). Akhirnya tak berlebihan pula jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “Ketika ditanyakan kepada kamu, siapa sebenarnya dia? Maka jawablah, siapa teman dia.”

Agama yang benar adalah yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia dan akal pikirannya. Ketika agama bertentangan dengan rasio dan fitrah kemanusiaan, hampir pasti ia akan ditolak oleh manusia yang menghargai fitrah dan pikirannya. Ingat, manusia yang mengakui fitrah dan logikanya. Masuk akalkah berhala batu dan kayu-atau apapun bentuknya- yang notabene sebagi ciptaan manusia layak disembah oleh manusia penciptanya?


Semoga bermanfaat.

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Sumber: Kisah dan Hikmah, Dhurorudin Manshad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar