Rabu, 13 Januari 2010

NABI IBRAHIM MEMBENAMKAN “TUHAN”

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Apa kabar temen-temen? Alhamdulillah kami masih bisa menyapa Anda semua, dalam upaya kita saling berbagi, tentunya berbagi ilmu yang insya Allah bermanfaat bagi kami pribadi khususnya dan semoga buat Anda semua yang membacanya.

Shalawat serta salam semoga tetap atas Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Insan yang mulia, paling bertaqwa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Semoga kita selalu berittiba’ di jalanya. Amin.

Temen-temen yang sama-sama kita cintai karena Allah, kalau minggu yang lalu kami ketengahkan kisah tentag Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang menghancurkan “Tuhan” , kali ini masih tentang;

NABI IBRAHIM MEMBENAMKAN “TUHAN”

Ibrahim ‘Alaihissalam lahir dan besar di sebuah keluarga dan masyarakat bernuansa serba berhala. Bahkan bapak Ibrahim sendiri bukan sekedar menjadi penyembah dan penghamba, melainkan sekaligus pengrajin dan pencipta patung berhala tadi. Nama orang tua Ibrahim bahkan sedemikian termasyhur di seantero negeri, mengingat karya-karyanya tergolong “istimewa” dari segi artistik dan kehalusannya.

Suatu kali, setelah selesai membuat sebuah patung, sang Bapak memanggil remaja Ibrahim dan berkata,”Ibrahim, bawa dan juallah patung ini ke pasar.”

Ibrahim muda yang kala itu belum menjadi nabi, bahkan masih mencari eksistensi Rabb yang mutlak kebenarannya, memang menuruti perintah sang Bapak. Dia memanggul patung, lantas berjalan menuju pasar.

Namun, disepanjang jalan logikanya selalu bertanya-tanya, “Patutkah patung bikinan bapakku disembah-sembah sebagai Illah oleh masyarakat? Patutkah berhala pahatan bapaknya diagung-agungkan manusia dan dimintai keberkahannya?”

Hati dan akal Ibrahim bergolak, menolak kebahlulan bapaknya serta kebodohan masyarakatnya. Dia berhenti sejenak, setelah mempertimbangkan secara masak, lantas membenamkan patung itu ke dalam parit tak jauh dari pasar. Ibrahim kemudian pulang dengan tangan kosong, menemui sang Ayah, tanpa membawa uang tetapi hanya berbekal sebuah jawaban: berhala dirampas orang.

Pada hari lain Ibrahim disuruh lagi, dan member I alasan yang sama lagi. Ibrahim yang mencapai titik jenuh untuk mencari alasan serupa, pada akhirnya berterus-terang tentang apa yang diperbuatnya terhadap tuhan berhala. “Saya telah menenggelamkan semua berhala ke dalam parit,” kata Ibrahim kepada Bapaknya.

Mendengar jawaban itu, bagai disambar petir, sang Bapak murka tiada terkira. Alasannya bukan saja Ibrahim tak membawa uang hasil penjualan jerih payahnya, lebih dari itu si anak dinilai berlaku nista kepada “tuhan-tuhan” mereka, kepada berhala pujaan, patung sembahan masyarakatnya. Sang Bapak bertanya murka, “Kenapa kau memperlakukan tuhan berhala seperti itu? Apa kau tak takut terkena kutukannya?”

Ibrahim dengan tenang menjawab, “Wahai Bapak, engkau tak perlu khawatir, sebab berhala-berhala itu hanyalah sebuah benda yang tak mampu memberi manfaat ataupun kemudzaratan kepada kita, umat manusia.”

Sang bapak menimpali dengan tetap bernada marah, “Tapi berhala adalah tuhan, sembahan kita, leluhur kita, dan seluruh masyarakat kita.”

Kembali Ibrahim menjawab kalem, “ Wahai Bapak, bukankah Bapak yang membuat dan memahat patung-patung tadi? Pantaskah Bapak membuat sesuatu lalu Bapak ganti menyembah sesuatu hasil buatan Bapak tadi?”

Demi mendengar jawaban rasional, sang Bapak menanggapi secara emosional, marah tiada kepalang, geram tiada terbilang, lantas mengusir Ibrahim dari hadapannya.

HIKMAH

Agama, hakekatnya diturunkan Rabb adalah untuk kepentingan manusia, dan oleh karena itu pasti akan sesuai dengan fitrah dari manusia berakal. Agama yang bertentangan dengan fitrah manusia, berlawanan dengan logika sudah pasti akan ditinggalkan manusia yang secara arif mau dan mampu menggunakan potensi fitrahnya, secara kritis memakai potensi akal pikirannya. Orang yang tidak menyadari fitrahnya dengan bekal akal pikiran yang sangat berharga, sudah pasti akan terjerembab dalam lembah kenistaan dan kerendahan. Sebab manusia yang agung, pada akhirnya justru memperhambakan diri pada sesuatu yang secara substansial insaniah berada di bawah maqom-nya. Manusia seperti ini digambarkan oleh Rabb dengan kal an’aami, bal hum adhol, seperti binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi darinya.Nau’ubillah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam udah mengajarkan bahwa, “Agama (Islam) itu (masuk) akal, dan tidak akan beragama (Islam) bagi orang yang tidak menggunakan akalnya.”

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika sesuai fitrah manusia, berulangkali Al-Qur’an menyuruh kepada umat manusia bukan saja untuk bertaqwa, tetapi sekaligus memakai akalnya. “Maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang yang memakai akal.

Agama yang benar (baca: Hanif, Islam) adalah yang sesuai dengan logika dan akal yang lurus. Dan agama yang benar itu ibarat tali kekang, yang dapat mengendalikan hawa nafsu manusia untuk melenceng dari substansi kemanusiaannya yang fitri, manusia yang berakal, manusia yang beradab. Tanpa itu, manusia yang semula berderajat sangat tinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan malaikat sekalipun- ingat, malaikat disuruh sujud penghormatan kepada Adam- akhirnya terperosok pada tempat serendah-rendahnya, yang dalam terminology Al-qur’an disebutkan “Asfala saa filiin, lebih rendah dari binatang ternak sekalipun.

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar